Manusia dan Kebudayaan

Sikap Keberagamaan Kini Bak Gedung Tak Berjendela
Jumat, 15 Maret 2013 | 00:32 WIB


Sikap Keberagamaan Kini Bak Gedung Tak Berjendela
www.dpcdsb.org
Ilustrasi
SEMARANG, KOMPAS.com--Antropolog Universitas Diponegoro Semarang Prof Mudjahirin Thohir menilai sikap keberagamaan masyarakat Indonesia sekarang ini ibarat gedung tanpa jendela sehingga kerap terjadi konflik.

"Ibarat gedung tanpa jendela, mengatakan dirinya paling benar. Melupakan bahwa pada saat yang sama, di rumah atau gedung lain ada kelompok agama yang berbeda mengatakan hal yang kurang lebih sama," katanya di Semarang, Kamis.

Hal tersebut diungkapkan Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu usai peluncuran dan diskusi buku terbarunya yang berjudul "Multikulturalisme; Agama, Budaya, dan Sastra".

Menurut dia, sikap keberagamaan semacam itu justru akan membuat sikap eksklusif dengan menafikkan realitas keberagaman yang dimiliki Indonesia, serta membuat rasa ketidaknyamanan dalam menghadapi perbedaan agama.

Ia kembali mengibaratkan realitas keberagaman sebagai jalan besar yang dilalui berbagai
kendaraan, mulai becak, bemo, motor, mobil, hingga truk besar yang sama-sama ingin lewat untuk sampai ke tempat tujuan.

"Semua kendaraan sama-sama ingin lewat agar sampai tujuan. Tentunya, masing-masing harus mau memberi ruang kepada sesama pengguna jalan yang lain. Tidak boleh seenaknya, sebab bisa berserempetan atau tabrakan," katanya.

Kalau sampai terjadi serempetan atau tabrakan antarkendaraan, kata Mudjahirin yang juga pengajar antropologi agama pascasarjana IAIN Walisongo Semarang itu, keduanya sama-sama rugi dan akan menghabiskan energi.

Ia mengatakan mungkin ada sebagian orang yang berkepentingan dengan timbulnya konflik agama kemudian memanfaatkan kesempatan, diperparah dengan ketidakadilan dan kesenjangan sosial di masyarakat.

"Bahwa konflik itu natural, memang iya. Sebab, kita anak keturunan Qabil (anak Nabi Adam) yang membunuh saudaranya sendiri. Tetapi, bukan berarti dibiarkan saja. Harus ada upaya mengelola permasalahan," katanya.

Ia mengakui ajaran dakwah (syiar agama) memang ada dalam agama, tetapi agama sebenarnya terbagi dalam dua aspek, yakni teologis yang berkaitan hubungan dengan Tuhan dan sosiologis berkaitan hubungan antarmanusia.

"Seseorang yang beragama memang harus meyakini agamanya paling benar. Itu harus. Tetapi, pada aspek sosial jangan melupakan bahwa setiap orang juga ingin mencapai apa yang diyakininya benar dan baik," kata Mudjahirin.
Sumber :
ANT




Tanggapan

Menurut pribadi saya, kebudayaan keberagaman beragama bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan. Dimana saat itu agama hindu datang dari para pendeta dan pedagang dari India yang sedang mencari jalur perdagangan dan mencari rempah-rempah ke Indonesia. Pada saat itu kepercayaan bangsa Indonesia masih menganut kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Setelah sejarah yang panjang keberagaman agama telah menjadi budaya yang mengakar di dalam diri masing-masing individu masyarakat Indonesia. Tetapi belakangan ini, keberagaman budaya dan agama telah menimbulkan konflik yang diakibatkan sikap eksklusifitas terhadap agama dan budaya yang dianut. Menurut saya sikap itu muncul karena 2 faktor, yaitu :
  1. Faktor internal, dan
  2. Faktor eksternal

A. Faktor internal

Yaitu dorongan yang berasal dari dalam yang menganggap adat dan tradisi serta agama yang dianut adalah paling benar dan baik, sehingga menganggap selain agama dan adat mereka adalah tidak baik dan jahat.

Dikarenakan faktor globalisasi, terdapat sikap yang mempengaruhi pandangan hidup sesorang. Dahulu setiap individu saling menghargai satu sama lain, tapi semenjak globalisasi yang semakin meningkat tajam, muncul sikap ego dan sikap tadi, yaitu ekslusifitas. yang selalu ingin dianggap terebaik, dan yang lain tidak baik.


B. Faktor eksternal

Dari petikan berita diatas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan dan manusia sangat berkaitan erat, dimana kebudayaan muncul dari cara menyikapi sebuah perbuatan dan kebiasaan, oleh manusia itu sendiri. Sehingga kebudayaan muncul dan mengakar dalam wilayah tertentu.
Dari berita diatas, sikap pluralisme bangsa Indonesia sudah semakin terkikis, yang mengakibatkan terjadinya konflik SARA. Menurut hemat saya, pendidikan adalah hal utama dalam mencegah hal ini. Kenapa?, karena dari pendidikanlah setiap individu dapat berlajar saling menghargai satu sama lain, sehingga tercipta kedamaian dan keberagaman dalam kehidupan.


Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2013/03/15/00325224/Sikap.Keberagamaan.Kini.Bak.Gedung.Tak.Berjendela

Komentar

Postingan Populer